dilia
Doyoung berjalan tertatih. Perutnya sakit sekali karena beberapa hari ini selalu melewatkan sarapan hingga makan siang. Makan malam pun hanya kadang-kadang ia lakukan. Di tengah upayanya pulang, ia berharap Taeyong, sahabatnya yang jago memasak, mendadak kembali ke hadapannya dan membuatkan Doyoung kudapan.
Doyoung itu pemarah.
Walau ia selalu menolak pernyataan tersebut, itu memang kenyataannya.
"Heh, Kelinci!" Taeyong berteriak dari kejauhan saat menemukan si pemuda Aquarius di salah satu meja kafetaria kampus.
"Siapa yang kaupanggil kelinci??!!"
Tuh, kan, Doyoung memang pemarah.
"Semua ini akan rusak," Doyoung menatap Taeyong di hadapannya. "Kamu dan aku sama-sama tahu, kalau kita akan rusak. Dalam hitungan jam." Kali ini ia membuang pandangan, menghela napas putus asa.
Taeyong telah menentang begitu banyak aturan seumur hidupnya. Bertemu dengan Doyoung membuat ia paham mengapa ada orang yang patuh terhadap aturan. Ia tak menyangka taat pada peraturan ternyata bisa menarik juga.
Taeyong terpikirkan sesuatu;
tampaknya ia butuh vaksin terhadap Doyoung. Agar ia kebal dari pesona lelaki imut seperti kelinci tersebut.
Pada segala kesempatan di mana ia berkontemplasi, Taeyong menyadari dunia terus bergerak maju. Teknologi berkembang. Bukan tidak mungkin hologram jadi kebutuhan sehari-hari. Pemikiran akan masa depan hanya mengendap di otaknya, bertanya-tanya apakah di suatu masa yang tidak pasti tersebut ia dapat membersamai Doyoung.
Taeyong tidak pernah mengerti dan mengetahui, kapan ia terjatuh. Tapi nyatanya, ia telah jatuh begitu rupa. Begitu dalam. Ia lupa bagaimana mulanya, bagaimana caranya; tapi ia jatuh.
Pada Doyoung.